Cara Berfikir Anak

Cara Berfikir Anak

Bagaimanakah peran orang tua dan guru mengajarkan tentang konsep, sains, matematika dan ilmu pengetahuan lainnya pada anak-anak?

Menurut Peaget (1972), perkembangan kognitif anak usia (5-6 thn) sedang beralih dari fase praoperasional ke fase konkret operasional. Cara berfikir konkret berpijak pada pengalaman akan benda-benda konkret, bukan berdasarkan pengetahuan atau konsep-konsep abstrak. Obyek permanen (object permanency) sudah mulai berkembang. Anak dapat mengingat benda-benda, jumlah, dan ciri-ciri meskipun benda tersebut sudah tidak berada dihadapannya. Anak juga mampu menghubungkan sebab-akibat yang tampak secara langsung serta mampu membuat prediksi berdasarkan hubungan sebab-akibat yang telah diketahuinya. misalnya dengan melihat awan yang hitam anak mengatakan akan turun hujan.

Dalam usia tersebut selain berfikir secara konkret, juga bersifat transduktif. Anak menghubungkan benda-benda yang baru dipelajarinya berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan benda-benda sebelumnya. Anak biasanya hanya memperhatikan salah satu ciri benda yang menurutnya paling menarik untuk membuat kesimpulan. Cara pengambilan keputusan seperti inilah yang disebut cara berfikir tranduktif. Contohnya adalah ketika anak pernah melihat layang-layang berwarna merah terbang tinggi. Maka ketika anak tersebut membeli layang-layang ia akan memilih warna merah, karena ia berfikirhanya layang-layang berwarna merah yang bisa terbang tinggi.


Anak tersebut juga memiliki cara berfikir yang disebut sinkretik, atau tidak masuk akal oleh orang dewasa. Alkisah, seorang guru melihat tanaman pot didalam ruangan kelas yang daunnya layu. Lalu sang guru bertanya, “Anak-anak mengapa tumbuhan ini layu?” sambil menunjuk tanaman tersebut. Anak-anak menjawab “karena ada rak buku baru, bu”. Memang benar sehari sebelumnya ada rak buku baru yang ditaruh di dekat pot tersebut. Bagi anak tersebut menghubungkan tumbuhan yang layu dengan kehadiran lemari baru sah-sah saja, meskipun tidak masuk akal untuk orang dewasa.

Anak usia 2-3 tahun.
Suatu saat seorang guru mengikatkan seutas benang pada ke sebuah paku dan mengikatkan ujung lain pada sebuah meja. Kemudian mendekatkan sebuah magnet ke paku tersebut. Paku tersebut tiba-tiba melayang keatas, menarik benang kea rah magnet. Anak-anak yang terus mengamati spontang berteriak, “Ajaib!” Sampai beberapa hari mereka masih membicarakan “keajaiban” paku dan magnet tersebut walaupun guru telah berusaha menjelaskan bahwa magnet mempunyai sifat menarik dengan benda-benda yang terbuat dari logam. Hal itu terjadi karena anak-anak pada usia 3-4 tahun berfikir hubungan sebab-akibat bersifat magis atau ajaib.

Sedangkan anak yang berusia lima tahun, hubungan sebab akibat tidak bersifat ajaib tetapi prasebab-akibat (precausal reasoning), yaitu anak tidak secara jelas menyatakan hubungan antara sebab dan akibatnya. Berdasarkan hasil dialognya dengan anak, Piaget membedakan precausal reasoning menjadi tujuh tipe yaitu:
1. Motivasi
Anak menghubungkan sebab dan akibat sebagai bentuk fungsi atau motivasi dari suatu benda terhadap benda lainnya. Oleh karena itu, anak sering bingung dengan pertanyaan “mengapa” dan “untuk apa”. Contoh jika anak ditanya mengapa matahari tidak kelihatan pada malam hari? Mereka mungkin akan menjawab Tuhan menyimpannya untuk besok.

2. Finalisme
Anak sering menyatakan hubungan sebab akibat sebagai suatu takdir. Segala sesuatu terjadi bukan sebagai faktor lain, tetapi karena memang terjadi begitu saja, apa adanya, atau karena takdir. “Mengapa air sungai mengalir kelaut?” “Ya, karena air sungai memang mengalir ke laut.”

3. Fenomenisme
Anak sering kali berfikir bahwa dua hal yang mirip dapat dihubungkan sebagai sebab-akibat. “Jangan main api nanti tersambar petir.” Petir juga api atau mirip api.

4. Moralisme
Cara berfikir ini mirip dengan motivasi dan finalisme, tetapi penyebab utamanya ialah benda itu sendiri, seakan benda punya moral. “Mengapa mobil bisa berjalan?”. ”Agar dapat mengangkut orang” – bukan karena mempunyai mesin yang berputar.

5. Artifialisme
Anak memandang bahwa semua akibat disebabkan oleh manusia. Jadi penyebab segala sesuatu adalah manusia. “Mengapa laut bergelombang?” “manusia menaruh banyak perahu di laut.”

6. Animisme
Animism merupakan suatu pandangan bahwa semua benda itu hidup dan memiliki kemauan. Anak berfikir bahwa benda-benda bergerak, bersinar, atau bersuara itu hidup.
“Mengapa mobil itu bergerak?” “karena mobil itu hidup.”
“mengapa awan itu bergerak?” “karena awan itu hidup.”

7. Dinamisme
Dinamisme mirip dengan animism. Bahwa benda-benda memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu terhadap benda lain.
“Mengapa air sungai mengalir dari gunung ke laut?” “karena gunung mendorongnya ke laut.”



Dari berbagai sumber

Melindungi buah hati kita dari depresi

Setiap anak adalah harapan orang tua. Karena itu, banyak jalan yang ditempuh orang tua untuk menjadikan anaknya sebagai yang ”ter”. Dengan alasan kasih sayang dan demi masa depan anak yang sukses, apa saja dilakukan orang tua. Termasuk, memberikan berbagai macam les dan kursus diluar jam pelajaran sekolah untuk meningkatkan prestasi akademis serta ketrampilannya. Tanpa disadari, sikap itu bisa menjadi bumerang yang setiap saat dapat memukul balik orang tua dan anaknya.

Dengan memberikan beragam les dan kursus, tidak menjamin anak jadi lebih hebat. Yang terjadi bisa sebaliknya, anak bisa depresi, frustasi, bahkan bisa bunuh diri. Dulu pernah ada anak di usia Sekolah Dasar menulis sebuah surat kepada orang tuanya, yang isinya :

”....Pa, Ma, aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri....”


Bayangkan seperti apa kagetnya orang tua, ketika anaknya yang masih kecil menulis surat berisikan pesan seperti di atas. Untung, tindakan tersebut tidak sempat terjadi. Pembantu rumah tangga keluarga tersebut menemukan surat yang ditulis, dan lantas segera memberikan kepada orang tuanya.

Ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak anak-anak sekarang yang memiliki kesibukan menyamai pengusaha kelas atas. Ceritanya, sejak masuk bangku SD, sang ayah telah menaruh harapan begitu tinggi, khususnya di bidang matematika. Tidak cukup dengan full day school, sang ayah menjejali hari-hari sang anak dengan tiga les tambahan. Ada les kumon, sempoa, juga menggambar.

Bangun pagi, pukul 06.00 anak sudah harus berangkat ke sekolah. Tujuh jam di sekolah, setelah itu dilanjutkan dengan les dan les. Pulang ke rumah, waktunya habis untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR). Buru-buru mau bermain, nonton televisi saja tidak sempat. Belum lagi pressure yang berat dilakukan oleh sang ayah. Tiap hari, sang ayah mendikte anak tersebut supaya harus begini dan begitu. Selain itu, sang ayah kerap mengecek semua nilai matematikanya. Sang ayah memang mempunyai harapan tinggi, dia ingin anak kelak bisa menjadi insinyur seperti dirinya. Ironisnya, bukan nilai baik dan prestasi yang didapat sang anak. Justru nilainya terus merosot. Bukannya membantu, sang ayah langsung memarahinya. Mendapat tekanan seperti itu, sang anak pun jadi putus asa. Dia akhirnya memutuskan hendak bunuh diri, bahkan sudah meninggalkan sepucuk surat untuk kedua orang tuanya tersebut.

Sungguh, kenyataan yang sangat menyedihkan, membuat hati ini nelangsa. Bagaimana tidak, tekanan dan harapan orang tua yang terlalu tinggi mampu meluluhlantakkan semangat hidup seorang anak berusia delapan tahun. Maka, sudah saatnya kita sebagai orang tua tidak lagi menjadikan angka dan nilai-nilai di sekolah sebagai sesuatu yang menakutkan. Yang terpenting dalam pendidikan adalah proses belajarnya. Yaitu, membentuk anak agar senang dalam belajar dan termotivasi untuk terus belajar. Biarkan anak-anak merdeka dan bahagia dengan masa kanak-kanaknya. Nikmati tawa anak-anak kita, pandangi kedalaman matanya. Sebab, kalau tidak, hanya air mata penyesalan yang akan menemani sepanjang umur kita.

Sebagian diantara kita yang sibuk dalam kehidupan di kota ini, beranggapan bahwa waktu yang sedikit bersama anak bukanlah masalah, yang paling penting adalah kualitasnya. Kenyataannya, kualitas hubungan tidak bisa berkembang tanpa memberikan waktu yang memadai. Anak yang akan bunuh diri tadi adalah salah satu cerminan anak-anak yang haus dekapan kasih sayang serta kehangatan orang tua. Kebanggan terhadap nilai-nilai dan angka di buku rapor telah mengambil alih kesadaran mengenai pentingnya kehadiran orang tua di sisi anak-anak. Banyak orang tua yang terlena dalam kesibukan pekerjaan dan melupakan betapa pentingnya kehadiran mereka. Kesibukan bekerja telah merampas waktu buat anak-anak. Bermain bersama anak di rumah menjadi momen yang langka. Maka, membacakan buku cerita untuk si kecil pun jadi lebih banyak dilakukan oleh pengasuhnya.

Menyatakan rasa sayang dan cinta secara verbal bisa jadi akan terlupakan. Perasaan anak-anak akan damai ketika orang tua mengungkapkan, ”Mama bangga mempunyai anak seperti kamu”, ”I Love You, sayang,” serta ungkapan kasih sayang lainnya. Anak-anak akan tertekan, bila justru tuntutan-tuntutan tinggi yang tidak realistis lebih sering didengar anak-anak daripada ungkapan-ungkapan kasih sayang dan penghargaan ketika anaknya membutuhkan.

Tuntutan harus mengikuti beragam les setiap hari tanpa mempertimbangkan kelelahan fisik yang dirasakan anak sama dengan merampas hak anak untuk bermain dan bereksplorasi. Bahkan, sering kita temui anak-anak menghabiskan hari-harinya di atas mobil yang mengantarnya ke berbagai tempat les. Setiap hari, boleh jadi tanpa sadar para orang tua mengajari anak-anak untuk tidak menjadi diri mereka sendiri, tetapi menjadi yang diinginkan orang tua. Tanpa sadar pula, orang tua telah membentuk anak-anak untuk membenci dirinya sendiri dan membangun persepsi yang salah, seperti, ”Kalau tidak les akan gagal dan tidak disayang orang tua.”

Sudah saatnya kita sebagai orang tua kembali menyadarinya, dengan menerima anak apa adanya, mencintai mereka tanpa syarat, memberikan waktu yang cukup, kehangatan pelukan, komunikasi yang memadai, serta dukungan dan kepercayaan orang tua kepada anak-anaknya.

Perlu disadari pula oleh setiap orang tua, bahwa setiap anak merupakan pribadi yang ”unik”, mempunyai bakat dan potensi yang berbeda-beda. Boleh saja ikut les atau kegiatan ekstrakuriluker, asalkan disesuaikan dengan tujuan yang cocok dengan kebutuhan anak. Dengan begitu, orang tua pun jadi memiliki target yang lebih realistis. Ingat, anak itu titipan, bukan untuk memenuhi ambisi orang tua.

sumber: http://noverdianto.multiply.com/journal/item/24?mark_read=noverdianto:journal:24