Melindungi buah hati kita dari depresi

Setiap anak adalah harapan orang tua. Karena itu, banyak jalan yang ditempuh orang tua untuk menjadikan anaknya sebagai yang ”ter”. Dengan alasan kasih sayang dan demi masa depan anak yang sukses, apa saja dilakukan orang tua. Termasuk, memberikan berbagai macam les dan kursus diluar jam pelajaran sekolah untuk meningkatkan prestasi akademis serta ketrampilannya. Tanpa disadari, sikap itu bisa menjadi bumerang yang setiap saat dapat memukul balik orang tua dan anaknya.

Dengan memberikan beragam les dan kursus, tidak menjamin anak jadi lebih hebat. Yang terjadi bisa sebaliknya, anak bisa depresi, frustasi, bahkan bisa bunuh diri. Dulu pernah ada anak di usia Sekolah Dasar menulis sebuah surat kepada orang tuanya, yang isinya :

”....Pa, Ma, aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri....”


Bayangkan seperti apa kagetnya orang tua, ketika anaknya yang masih kecil menulis surat berisikan pesan seperti di atas. Untung, tindakan tersebut tidak sempat terjadi. Pembantu rumah tangga keluarga tersebut menemukan surat yang ditulis, dan lantas segera memberikan kepada orang tuanya.

Ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak anak-anak sekarang yang memiliki kesibukan menyamai pengusaha kelas atas. Ceritanya, sejak masuk bangku SD, sang ayah telah menaruh harapan begitu tinggi, khususnya di bidang matematika. Tidak cukup dengan full day school, sang ayah menjejali hari-hari sang anak dengan tiga les tambahan. Ada les kumon, sempoa, juga menggambar.

Bangun pagi, pukul 06.00 anak sudah harus berangkat ke sekolah. Tujuh jam di sekolah, setelah itu dilanjutkan dengan les dan les. Pulang ke rumah, waktunya habis untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR). Buru-buru mau bermain, nonton televisi saja tidak sempat. Belum lagi pressure yang berat dilakukan oleh sang ayah. Tiap hari, sang ayah mendikte anak tersebut supaya harus begini dan begitu. Selain itu, sang ayah kerap mengecek semua nilai matematikanya. Sang ayah memang mempunyai harapan tinggi, dia ingin anak kelak bisa menjadi insinyur seperti dirinya. Ironisnya, bukan nilai baik dan prestasi yang didapat sang anak. Justru nilainya terus merosot. Bukannya membantu, sang ayah langsung memarahinya. Mendapat tekanan seperti itu, sang anak pun jadi putus asa. Dia akhirnya memutuskan hendak bunuh diri, bahkan sudah meninggalkan sepucuk surat untuk kedua orang tuanya tersebut.

Sungguh, kenyataan yang sangat menyedihkan, membuat hati ini nelangsa. Bagaimana tidak, tekanan dan harapan orang tua yang terlalu tinggi mampu meluluhlantakkan semangat hidup seorang anak berusia delapan tahun. Maka, sudah saatnya kita sebagai orang tua tidak lagi menjadikan angka dan nilai-nilai di sekolah sebagai sesuatu yang menakutkan. Yang terpenting dalam pendidikan adalah proses belajarnya. Yaitu, membentuk anak agar senang dalam belajar dan termotivasi untuk terus belajar. Biarkan anak-anak merdeka dan bahagia dengan masa kanak-kanaknya. Nikmati tawa anak-anak kita, pandangi kedalaman matanya. Sebab, kalau tidak, hanya air mata penyesalan yang akan menemani sepanjang umur kita.

Sebagian diantara kita yang sibuk dalam kehidupan di kota ini, beranggapan bahwa waktu yang sedikit bersama anak bukanlah masalah, yang paling penting adalah kualitasnya. Kenyataannya, kualitas hubungan tidak bisa berkembang tanpa memberikan waktu yang memadai. Anak yang akan bunuh diri tadi adalah salah satu cerminan anak-anak yang haus dekapan kasih sayang serta kehangatan orang tua. Kebanggan terhadap nilai-nilai dan angka di buku rapor telah mengambil alih kesadaran mengenai pentingnya kehadiran orang tua di sisi anak-anak. Banyak orang tua yang terlena dalam kesibukan pekerjaan dan melupakan betapa pentingnya kehadiran mereka. Kesibukan bekerja telah merampas waktu buat anak-anak. Bermain bersama anak di rumah menjadi momen yang langka. Maka, membacakan buku cerita untuk si kecil pun jadi lebih banyak dilakukan oleh pengasuhnya.

Menyatakan rasa sayang dan cinta secara verbal bisa jadi akan terlupakan. Perasaan anak-anak akan damai ketika orang tua mengungkapkan, ”Mama bangga mempunyai anak seperti kamu”, ”I Love You, sayang,” serta ungkapan kasih sayang lainnya. Anak-anak akan tertekan, bila justru tuntutan-tuntutan tinggi yang tidak realistis lebih sering didengar anak-anak daripada ungkapan-ungkapan kasih sayang dan penghargaan ketika anaknya membutuhkan.

Tuntutan harus mengikuti beragam les setiap hari tanpa mempertimbangkan kelelahan fisik yang dirasakan anak sama dengan merampas hak anak untuk bermain dan bereksplorasi. Bahkan, sering kita temui anak-anak menghabiskan hari-harinya di atas mobil yang mengantarnya ke berbagai tempat les. Setiap hari, boleh jadi tanpa sadar para orang tua mengajari anak-anak untuk tidak menjadi diri mereka sendiri, tetapi menjadi yang diinginkan orang tua. Tanpa sadar pula, orang tua telah membentuk anak-anak untuk membenci dirinya sendiri dan membangun persepsi yang salah, seperti, ”Kalau tidak les akan gagal dan tidak disayang orang tua.”

Sudah saatnya kita sebagai orang tua kembali menyadarinya, dengan menerima anak apa adanya, mencintai mereka tanpa syarat, memberikan waktu yang cukup, kehangatan pelukan, komunikasi yang memadai, serta dukungan dan kepercayaan orang tua kepada anak-anaknya.

Perlu disadari pula oleh setiap orang tua, bahwa setiap anak merupakan pribadi yang ”unik”, mempunyai bakat dan potensi yang berbeda-beda. Boleh saja ikut les atau kegiatan ekstrakuriluker, asalkan disesuaikan dengan tujuan yang cocok dengan kebutuhan anak. Dengan begitu, orang tua pun jadi memiliki target yang lebih realistis. Ingat, anak itu titipan, bukan untuk memenuhi ambisi orang tua.

sumber: http://noverdianto.multiply.com/journal/item/24?mark_read=noverdianto:journal:24

0 komentar: