Story Telling

Story Telling untuk pembelajaran Anak Usia Dini

story telling atau bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam menyajikan sebuah cerita kepada orang lain dengan atau tanpa alat, yang bertujuan menyampaikan pesan atau informasi yang bersifat mendidik. Bercerita pada anak usia dini bertujuan agar anak didik mampu mendengar dengan seksama terhadap apa yang disampaikan oleh orang lain, ia dapat bertanya apabila tidak memahaminya, selanjutnya ia dapat mengekspresikan terhadap apa yang dicertakan, sehingga hikmah dari isi cerita dapat dipahami dan lambat laun dilaksanakan.

Kehebatan dan manfaat dari bercerita:

- bercerita merupakan dasar komunikasi bagi seluruh manusia.
- bersifat alamiah dalam mentransfer ide dan nilai-nilai.
- indra pendenganran dapat difungsikan dengan baik.
- membantu anak memahami suatu budaya
- memupuk rasa memiliki terhadap keluarga, budaya, temen-teman dll.
- dapat merefleksikan keragaman pengalaman manusia
- dapat membantu mengembangkan rasa empati atas kondisi orang lain.
- menambah pengalaman dan wawasan dari sumber yang berbeda
- menciptakan keakraban, kepedulian dan mempererat persahabatan.
- membantu meningkatkan skill komunikasi dan percaya diri
- mengembangkan imajinasi dan membantu perkembangan intelektual
- mengembangkan kemampuan mendengar.
- menambah kosa kata.
- merangsang anak gemar membaca.

Jenis-jenis certita
1. Cerita tertulis
Cerita yang diciptakan oleh pengarang serta dipublikasikan, cerita ini sulit diceritakan kembali. Contoh berbagai jenis buku cerita.
2. Cerita bersejarah
Cerita tentang tokoh atau kejadian pada masa lalu. Contoh: candi borobudur, Cut Nyak Dien, dll.
3. Cerita Nyata
Cerita yang ditemui dari buku, surat kabar, radio, televise, film, atau dari media lainnya. Contoh: tsunami dll.
4. Cerita khayalan atau tidak nyata (fiksi)
Cerita tentang sesuatu yang tidak nyata/khayalan, namun masih memiliki pesan moral, sehingga sangat disukai anak. Contoh: cerita fabel (binatang yang seolah-olah dapat seperti manusia dll)
5. Cerita pengalaman
Cerita sehari-hari yang didapatkan dari keluarga, teman atau saling berbagi pengalaman dimasa yang lalu.
6. Cerita pribadi
Cerita tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada keluarga biasanya dalam bentuk topik, cerita, petuah keluarga, tradisi atau sesuatu yang penting tentang keluarga besar dll.

Selain jenis-jenis cerita tersebut diatas, cerita juga dibedakan menurut sumbernya menjadi dua yaitu:

1. Dongeng Rakyat
Dongeng yang diceritakan orang-orang, kadang-kadang telah berumur ribuan tahun namun selalu menarik untuk diceritakan kembali. Contoh: Malinkundang dll.
2. Cerita Spontan
Cerita yang dikarang sendiri, diciptakan sendiri dan dapat direkayasa berdasarkan keinginan sendiri, baik itu cerita yang menyenangkan, menyedihkan, atau cerita nyata, dll.

Teknik penyampaian cerita spontan
a. Cerita per-suku kata
Setiap orang yang hadir menyumbang satu kata dalam cerita ini secara bergantian dan pimpinan dapat menunjuk giliran setiap peserta untuk menyambung rangkaian cerita sebelumnya, dan pada gilirannya semua peserta terlibat aktif didalamnya. Dan kemudian tercipta suatu hasil rangkaian cerita yang menarik dari para peserta juga akhirnya dinikmati oleh semua peserta yang berpartisipasi.

Contoh:
Pada suatu hari ada seorang …………., tinggal di……….., dengan ………..Suatu pagi ia menemukan……….,dan…………lalu ia membawanya pulang ke ……….., dsb

Syaratnya : Ketika kita melakukan ini usahakan ceritanya lucu dan mudah diikuti, jangan memaksa mereka walaupun ceritanya agak terdengar ganjil.
Ingat cerita ini jangan panjang – panjang kalau perlu agak berfantasi.

b. Cerita dibalik kertas
Cara ini juga merupakan cara yang sangat menarik bagi anak-anak. Ambil selembar kertas dan mulailah kita mengeluarkan suara tangis dan air mata sambil menutupi wajah kita dengan kertas, Coba perhatikan reaksi anak-anak tersebut, apa yang terjadi, seperti apa ekspresi wajah mereka. Dan dari sini kita juga dapat merangsang imajinasi anak untuk menceriterakan apa yang terjadi barusan. Atau bisa dilanjutkan dengan cerita yang lainnya.

c. Cerita berdasarkan pemilihan huruf dari A-Z
Sodorkan beberapa abjad/huruf pada anak-anak, suruh mereka memilih beberapa huruf sesuai dengan keinginannya, serahkan pada pencerita. Maka mulailah kita bercerita sesuai dengan urutan abjad yang mereka sodorkan. Dan kalau perlu libatkan juga mereka untuk menciptakan kata lainnya dari huruf tadi. Cara ini dapat membantu pengenalan huruf, bentuk, kata, arti, warna dll sehingga mereka terlibat dalam cerita ini.

d. Rangkaian cerita berdasarkan kata-kata
Tentukan suatu objek cerita, lalu mintakan mereka untuk menyebutkan beberapa kata secara bergiliran, gunakan kata-kata yang pendek –pendek saja. Selanjutnya rangkai menjadi suatu cerita pendek yang menarik. Tantang yang lainnya untuk membuat cerita yang sama dari kata kata yang sama dan terakhir beri penghargaan bagi peserta yang dapat menciptakan cerita dari rangkaian kata yang lebih logis dan cepat serta menghibur.

e. Memaparkan gambaran dikepala
Coba bayangkan sesuatu objek, misalnya istana megah, seekor naga, sebuah gubuk,seorang putri cantik, seekor monster atau apa saja. Kemudian suruh semua anak memejamkan mata untuk membayangkan salah satu objek tersebut. Selanjutnya suruh mereka menggambarkan apa yang ada dalam benaknya secara bergantian. Pada awalnya mungkin mereka sukar membayangkan sesuatu, tapi kalau dirangsang maka intelektualitas mereka akan berkembang menjadi lebih kreatif dan dapat menggambarkan berbagai imajinasi.

f. Cerita sambil menggunakan gerakan
Mulailah pencerita meminta bantuan anak membuka telapak tangannya, lalu ceritakan bagian-bagian tangannya itu untuk bahan cerita selanjutnya, teruskan cerita tersebut pada setiap bagian jari tangannya, lalu gerakan, goyangkan, tekuk, bunyikan dll. Atau juga dapat menggunakan anggota tubuh lainnya yang lazim dijadikan bahan cerita seperti kaki, kepala dll.

Peralihan dari membaca cerita ke bercerita aktif!!
Bercerita dan membaca cerita dari buku, itu berbeda. Membaca memerlukan ilustrasi, narasi dan karakter yang ada didalamnya. Artinya tidak ada buku tidak ada cerita!
Lain halnya dalam bercerita, kita dituntut untuk bertanggungjawab dalam memilih kata yang tepat, merangkai cerita yang menarik, ide yang cemerlang, logis, berimajinasi, menggunakan alat bantu yang tepat, berimprovisasi dan inovatif serta efisien.

Semoga Bermanfaat

Sumber : Materi Diklat PAUD Jateng 2008

Jenis Perilaku Anak Usia Dini

Tahun 1932, Mildred Parten mengamati anak-anak di program anak usia dini. Jenis-jenis hubungan sosial yang dijelaskan disini, didokumentasikan dalam penelitiannya. Ia mengelompokan anak-anak dalam 6 kategori yaitu:
1. Perilaku Penonton
Anak memperhatikan anak lain saat bermain. Mereka mungkin berhubungan secara lisan, tetapi tidak ikut main.


2.Sosial Sendiri
Anak terlibat dalam main dengan diri sendiri. Main yang dimaksud sepenuhnya mengatur sendiri.


3. Perilaku Tidak Perduli
Anak tidak bermain, tetapi terlibat dalam “perilaku tidak peduli.”



4. Sosial Berdampingan
Anak main dekat dengan anak lainnya. Anak terlibat dalam permainan nya sendiri, tetapi senang dengan kehadiran anak lainnya.
>

5.Sosial Bersama
Anak main dengan anak lainnya dalam satu kelompok. Ia dapat bertukar bahan main, tetapi tidak ada tujuan yang direncanakan.
>

6. Sosial Bersama
Anak main dengan anak lain dan mainnya memiliki tujuan yang direncanakan. Anak merencana-kan dan berperan.
>

Semoga Bermanfaat :)


Sumber : Materi Diklat PAUD Jateng 2008

PERKEMBANGAN ANAK

PERKEMBANGAN ANAK
Garis waktu perkembangan anak

Lahir – 12 Bulan (The Awakening)




Tonggak perkembangan anak ditahun pertama:
Mengembangkan rasa percaya dan ikatan dengan orang lain
Mengulang-ulang kegiatan (ex:menendang)
Senyum sosial (1 – 4 bln)
Mulai membuat suara dan menjawab percakapan
Takut pada orang asing (bulan terakhir 10 bln)
Ketetapan benda (mulai 10 -12 bln)
Mengulang kembali gerakan untuk kesenangan
Menjelajah lingkungan seiring peningkatan pengendalian tubuh



Lingkungan untuk bayi:
•Harus aman, merangsang, menghargai, konsisten dan tanggap
•Pengasuh harus memiliki pengetahuan perkembangan anak
•Harus menyediakan bermacam ragam bahan main yang mudah dijangkau sehingga anak dapat berhubungan dengan bahan tsb
•Harus secara rutin memberikan perhatian pada setiap anak dan pengalaman-pengalaman belajar
•Harus menyediakan kesempatan waktu main di lantai dengan bahan-bahan main, anak lainnya, dan orang dewasa yg merawat
•Harus menyediakan setiap bayi dengan jadwal masing-masing

1 – 3 Tahun

Tonggak perkembangan anak dari 1 tahun hingga 3 tahun:
Mencari kekuatan/kemandirian
Tantrum/mengamuk
Munculnya bahasa
Perkembangan lanjutan baik keterampilan gerakan kasar maupun halus
Munculnya main peran (ex: memakai sepatu dewasa)
Mulai main sosial dengan anak lain
Mulai latihan ke kamar kecil
Senang pada kebiasaan dan rutinitas




Lingkungan untuk anak 1 – 3 Tahun:
•Harus menawarkan bermacam-macam bahan main dan pilihan
•Harus menerima bahwa mengamuk adalah bagian normal dari perkembangan
•Harus mengabaikan mengamuk dan mendorong perkembangan bahasa
•Harus membedakan antara mengamuk untuk mengendalikan orang atau memang ada kebutuhan untuk disayang
•Harus ada orang dewasa yang berinteraksi dengan anak, mencontohkan dan menyandikan tindakan dengan bahasa
•Harus memberikan pengalaman dengan musik, nyanyian, dongeng, main jari, dan kegiatan lain yang memperkuat perkembangan bahasa
•Harus ada orang dewasa dan bahan-bahan yang mendukung perkembangan main peran

•Harus menyediakan ruang dan bahan main di dalam dan di luar ruangan untuk mendukung penjelajahan, penemuan, dan kemandirian
•Harus ada orang dewasa yang memberikan perhatian pada perbedaan setiap anak dan mendukung keberhasilan tanpa rasa malu atau bersalah ketika latihan ke kamar kecil
•Harus menyediakan jadwal yang dapat diperkirakan sebelumnya, menerangkan perubahan pada anak, dan memberikan waktu pada anak untuk peralihan
•Harus ada orang dewasa yang ajeg dalam menanggapi anak




3 – 6 Tahun

Tonggak perkembangan anak dari usia 3 tahun hingga 6 tahun:
Melanjutkan pengendalian pada gerakan kasar dan halus
Peningkatan perkembangan bahasa
Menggunakan bahasa untuk memecahkan masalah
Menggunakan bahasa untuk memperkuat main dengan teman sebaya dan orang dewasa
Mulai munculnya hubungan sosial bekerjasama dengan anak lain
Mampu menggunakan berbagai jenis bahan main
Kemajuan dari sensorimotor atau main proses pada anak toddler ke kemampuan untuk mewakili dunia nyata dalam balok, papan lukis, dan bermacam-macam bahan main pembangunan lainnya




Lingkungan untuk anak usia 3 sampai 6 tahun:
•Harus menyediakan kesempatan main di dalam dan di luar ruangan
•Harus menyediakan kesempatan kepada anak untuk mengadakan hubungan dengan orang dewasa dan anak lainnya dalam lingkungan yang kaya dengan bahasa
•Harus menyediakan pengalaman dengan musik, sajak, cerita, dan main peran untuk memperkuat perkembangan bahasa
•Harus ada orang dewasa yang menjadi contoh dan mendukung perkembangan bahasa anak untuk memecahkan masalah
•Harus menyediakan bermacam ragam bahan main yang mendukung tiga jenis main (sensorimotor, peran, dan pembangunan)
•Harus menyediakan kesempatan harian untuk anak main dengan bermacam ragam bahan main
•Harus ada orang dewasa yang memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mendukung perkembangan anak melalui main


Sumber : Materi Diklat PAUD Jateng 2008

Prinsip-prinsip Pembelajaran Anak

Prinsip-prinsip Pembelajaran Anak
Beberapa prinsip pembelajaran anak berdasarkan cara berfikir anak, khususnya yang terkait dengan hubungan sebab-akibat.

1. Konktret dan dapat dilihat langsung
Anak dapat dilatih untuk membuat hubungan sebab-akibat jika dapat dilihat secara langsung. Misalnya dengan menggunakan neraca atau timbangan, anak dapat melihat dengan percobaan air mengalir dalam pipa, anak dapat melihat kenaikan pipa dan arah aliran air. dalam proses belajar hendaknya anak dapat berinteraksi dengan benda-benda, bermain, dan melakukan eksplorasi agar mereka memperoleh pengalaman langsung.

2. Bersifat bengalaman
Pembelajaran hendaknya menekankan pada proses mengenalkan anak dengan berbagai benda, fenomena alam, dan fenomena sosial. Fenomena tersebut akan mendorong anak tertarik terhadap berbagai persoalan, sehingga ia ingin belajar lebih lanjut. Guru hendaknya tidak memaksa anak untuk dapat berfikir logis dan rasional sebagaimana orang dewasa untuk mengambil kesimpulan dari fenomena tersebut.

3. Seimbang antara kegiatan fisik dan mental
Dalam pembelajaran sains kegiatan anak berinteraksi dengan benda dikenal dengan hans on science. Anak dapat menggunakan kelima indranya untuk melakukan observasi terhadap berbagai benda, gejala benda dan gejala peristiwa. Selanjutnya guru dapat memberikan pertanyaan untuk menstimulasi anak agar dapat berfikir lebih jauh berdasarkan hasil pengindraanya. Proses berfikir tersebut dikenal dengan minds-on. Oleh karena itu sebaiknya guru mendesain kegiatan pembelajaran sedemikian rupa agar kegiatan hands-on dan minds-on dapat seimbang.

4. Berhati-hati dengan pertanyaan “mengapa”
Pada orang dewasa, pertanyaan mengapa biasanya harus dijawab dengan suatu konsep atau hubungan sebab akibat yang masuk akal atau “ilmiah”. Bagi anak usia dini, kemampuan menjawab dengan hubungan sebab-akibat belum berkembang, pertanyaan “mengapa” sering di artikan “untuk apa” sehingga jawabannya bukan hubungan sebab-akibat, melainkan hubungan fungsional.
Pertanyaan “mengapa air sungai mengalir ke laut?” mungkin akan dijawab anak dengan jawaban “agar laut tidak kering”.

5. Sesuai tingkat perkembangan anak
Pembelajaran untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, baik usia maupun dengan kebutuhan individual anak. Pada umumnya, anak normal pada usia yang sama memiliki tingkat perkembangan yang sama. Oleh karena itu, pembelajaran anak usia dini harus disesuaikan baik lingkup maupun tingkat kesulitannya dengan kelompok usia anak.

6. Sesuai kebutuhan individual
Selain disesuaikan dengan kelompok usia anak, pembelajaran anak usia dini perlu memperhatikan kebutuhan individual. Disadari sepenuhnya bahwa anak pada dasarnya unik, ia memiliki karakteristik, bakat, minat sendiri yang berbeda dengan anak yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran, selain memperhatikan kelompok usia juga harus memperhatikan kebutuhan individual, seperti bakat, minat, dan tingkat kecerdasan anak.

7. Mengembangkan kecerdasan
Pembelajaran anak usia dini hendaknya tidak menjejali anak dengan hafalan, tetapi mengembangkan kecerdasaanya. Penelitian di bidang neuroscience (ilmu tentang saraf) menemukan bahwakecerdasan sangat dipengaruhi oleh banyaknya sel saraf otak, hubungan antar sel saraf otak, dan keseimbangan kinerja otak kanan dan otak kiri. Pada saat lahir sel otak sudah terbentuk semua yang jumlahnya mencapai 100-200 miliar, dimana setiap sel dapat membuat hubungan dengan 20.000 sel saraf otak lainnya, atau dengan kata lain dapat membentuk kombinasi 100 miliar x 20.000. Oleh karena itu, anak usia (0-8 Tahun) merupakan usia yang sangat kritis bagi pengembangan kecerdasan anak. Sayangnya, banyak guru, orang tua, dan pendidik anak usia dini yang “mengunci mati” sel otak tersebut untuk menjalankan fungsi kapasitasnya yang tak terhingga (unlimited capacity to learn) (Semiawan, 4004). Oleh karena itu guru dan orang tua perlu memahami teknik stimulasi otak yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan anak, bukan sekedar menjejali anak dengan informasi hafalan.

8. Sesuai langgam belajar anak
Tipe kecerdasan dan modalitas belajar yang berbeda menyebabkan anak-anak belajar dengan cara yang berbeda. Selain tipe kecerdasan, cara anak belajar juga dipengaruhi oleh modalitas belajarnya. Bagi anak yang memiliki kecerdasan kinestetik dan memiliki indera peraba yang baik, ia lebih baik belajar dengan cara membongkar pasang, mengamati, dan menyentuh objek yang dipelajari. Sebaliknya bagi anak yang memiliki kemampuan pendengaran baik, ia belajar secara auditif. Sedangkan anak yang memiliki modalitas penglihatan, ia akan belajar secara visual, seperti membaca dan mengamati gambar.

9. Kontekstual dan multikonteks
Pembelajaran anak usia dini harus kontekstual dan menggunakan banyak konteks. Apa yang dipelajari anak adalah persoalan nyata sesuai dengan kondisi dimana siswa berada. Berbagai objek yang ada disekitar siswa, kejadian, dan isu-isu yang menarik dapat diangkat sebagai tema persoalan belajar.

10. Terpadu
Pembelajaran anak usia dini sebaiknya bersifat terpadu atau terintegrasi. Anak tidak belajar mata pelajaran tertentu, seperti IPA, Matematika, Bahasa secara terpisah, tetapi fenomena dan kejadian yang ada disekitarnya. Melalui bermain dengan air anak dapat belajar berhitung (matematika), mengenal sifat-sifat air (IPA), menggambar air mancur (seni), dan fungsi air untuk kehidupan (IPS).

11. Menggunakan esensi bermain
Pembelajaran anak usia dini menggunakan prinsip belajar, bermain, dan bernyanyi. Pembelajaran disusun sedemikian rupa sehingga menyenangkan dan demokratis, sehingga anak tertarik untuk terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran. Esensi bermain meliputi perasaan yang menyenangkan, merdeka, bebas memilih, dan merangsang anak terlibat aktif. Jadi prinsip bermain sambil belajar mengandung arti bahwa setiap kegiatan pembelajaran harus menyenangkan, gembira, aktif dan demokratis.

12. Belajar kecakapan hidup
Pendidikan anak usia dini mengembangkan diri anak secara menyeluruh (the whole child). Berbagai kecakapan dilatihkan agar anak kelak menjadi manusia seutuhnya. Bagian dari diri anak yang dikembangkan meliputi bidang fisik-motorik, intelektual, moral, sosial, emosi, kreativitas, dan bahasa. Tujuannya ialah agar kelak anak berkembang menjadi manusia yang utuh yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, cerdas dan terampil, mampu bekerja sama dengan orang lain, mampu hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

13. Belajar dari benda konkret
Mengajarkan angka 1, 2, dan 3 akan lebih baik jika berkoresponden dengan benda, misalnya 1 dengan 1 biji, 2 dengan 2 biji dan 3 dengan 3 biji. Perkembangan indranya yang pesat dan tenaganya yang tak pernah habis memungkinkan anak-anak pada tahap ini untuk selalu bergerak, membongkar pasang sesuatu, dan menyelidiki sesuatu.

Bacaan lebih lanjut: Strategi Pendidikan Anak, Drs. Slamet Suyanto, M.Ed.

Cara Berfikir Anak

Cara Berfikir Anak

Bagaimanakah peran orang tua dan guru mengajarkan tentang konsep, sains, matematika dan ilmu pengetahuan lainnya pada anak-anak?

Menurut Peaget (1972), perkembangan kognitif anak usia (5-6 thn) sedang beralih dari fase praoperasional ke fase konkret operasional. Cara berfikir konkret berpijak pada pengalaman akan benda-benda konkret, bukan berdasarkan pengetahuan atau konsep-konsep abstrak. Obyek permanen (object permanency) sudah mulai berkembang. Anak dapat mengingat benda-benda, jumlah, dan ciri-ciri meskipun benda tersebut sudah tidak berada dihadapannya. Anak juga mampu menghubungkan sebab-akibat yang tampak secara langsung serta mampu membuat prediksi berdasarkan hubungan sebab-akibat yang telah diketahuinya. misalnya dengan melihat awan yang hitam anak mengatakan akan turun hujan.

Dalam usia tersebut selain berfikir secara konkret, juga bersifat transduktif. Anak menghubungkan benda-benda yang baru dipelajarinya berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan benda-benda sebelumnya. Anak biasanya hanya memperhatikan salah satu ciri benda yang menurutnya paling menarik untuk membuat kesimpulan. Cara pengambilan keputusan seperti inilah yang disebut cara berfikir tranduktif. Contohnya adalah ketika anak pernah melihat layang-layang berwarna merah terbang tinggi. Maka ketika anak tersebut membeli layang-layang ia akan memilih warna merah, karena ia berfikirhanya layang-layang berwarna merah yang bisa terbang tinggi.


Anak tersebut juga memiliki cara berfikir yang disebut sinkretik, atau tidak masuk akal oleh orang dewasa. Alkisah, seorang guru melihat tanaman pot didalam ruangan kelas yang daunnya layu. Lalu sang guru bertanya, “Anak-anak mengapa tumbuhan ini layu?” sambil menunjuk tanaman tersebut. Anak-anak menjawab “karena ada rak buku baru, bu”. Memang benar sehari sebelumnya ada rak buku baru yang ditaruh di dekat pot tersebut. Bagi anak tersebut menghubungkan tumbuhan yang layu dengan kehadiran lemari baru sah-sah saja, meskipun tidak masuk akal untuk orang dewasa.

Anak usia 2-3 tahun.
Suatu saat seorang guru mengikatkan seutas benang pada ke sebuah paku dan mengikatkan ujung lain pada sebuah meja. Kemudian mendekatkan sebuah magnet ke paku tersebut. Paku tersebut tiba-tiba melayang keatas, menarik benang kea rah magnet. Anak-anak yang terus mengamati spontang berteriak, “Ajaib!” Sampai beberapa hari mereka masih membicarakan “keajaiban” paku dan magnet tersebut walaupun guru telah berusaha menjelaskan bahwa magnet mempunyai sifat menarik dengan benda-benda yang terbuat dari logam. Hal itu terjadi karena anak-anak pada usia 3-4 tahun berfikir hubungan sebab-akibat bersifat magis atau ajaib.

Sedangkan anak yang berusia lima tahun, hubungan sebab akibat tidak bersifat ajaib tetapi prasebab-akibat (precausal reasoning), yaitu anak tidak secara jelas menyatakan hubungan antara sebab dan akibatnya. Berdasarkan hasil dialognya dengan anak, Piaget membedakan precausal reasoning menjadi tujuh tipe yaitu:
1. Motivasi
Anak menghubungkan sebab dan akibat sebagai bentuk fungsi atau motivasi dari suatu benda terhadap benda lainnya. Oleh karena itu, anak sering bingung dengan pertanyaan “mengapa” dan “untuk apa”. Contoh jika anak ditanya mengapa matahari tidak kelihatan pada malam hari? Mereka mungkin akan menjawab Tuhan menyimpannya untuk besok.

2. Finalisme
Anak sering menyatakan hubungan sebab akibat sebagai suatu takdir. Segala sesuatu terjadi bukan sebagai faktor lain, tetapi karena memang terjadi begitu saja, apa adanya, atau karena takdir. “Mengapa air sungai mengalir kelaut?” “Ya, karena air sungai memang mengalir ke laut.”

3. Fenomenisme
Anak sering kali berfikir bahwa dua hal yang mirip dapat dihubungkan sebagai sebab-akibat. “Jangan main api nanti tersambar petir.” Petir juga api atau mirip api.

4. Moralisme
Cara berfikir ini mirip dengan motivasi dan finalisme, tetapi penyebab utamanya ialah benda itu sendiri, seakan benda punya moral. “Mengapa mobil bisa berjalan?”. ”Agar dapat mengangkut orang” – bukan karena mempunyai mesin yang berputar.

5. Artifialisme
Anak memandang bahwa semua akibat disebabkan oleh manusia. Jadi penyebab segala sesuatu adalah manusia. “Mengapa laut bergelombang?” “manusia menaruh banyak perahu di laut.”

6. Animisme
Animism merupakan suatu pandangan bahwa semua benda itu hidup dan memiliki kemauan. Anak berfikir bahwa benda-benda bergerak, bersinar, atau bersuara itu hidup.
“Mengapa mobil itu bergerak?” “karena mobil itu hidup.”
“mengapa awan itu bergerak?” “karena awan itu hidup.”

7. Dinamisme
Dinamisme mirip dengan animism. Bahwa benda-benda memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu terhadap benda lain.
“Mengapa air sungai mengalir dari gunung ke laut?” “karena gunung mendorongnya ke laut.”



Dari berbagai sumber

Melindungi buah hati kita dari depresi

Setiap anak adalah harapan orang tua. Karena itu, banyak jalan yang ditempuh orang tua untuk menjadikan anaknya sebagai yang ”ter”. Dengan alasan kasih sayang dan demi masa depan anak yang sukses, apa saja dilakukan orang tua. Termasuk, memberikan berbagai macam les dan kursus diluar jam pelajaran sekolah untuk meningkatkan prestasi akademis serta ketrampilannya. Tanpa disadari, sikap itu bisa menjadi bumerang yang setiap saat dapat memukul balik orang tua dan anaknya.

Dengan memberikan beragam les dan kursus, tidak menjamin anak jadi lebih hebat. Yang terjadi bisa sebaliknya, anak bisa depresi, frustasi, bahkan bisa bunuh diri. Dulu pernah ada anak di usia Sekolah Dasar menulis sebuah surat kepada orang tuanya, yang isinya :

”....Pa, Ma, aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri....”


Bayangkan seperti apa kagetnya orang tua, ketika anaknya yang masih kecil menulis surat berisikan pesan seperti di atas. Untung, tindakan tersebut tidak sempat terjadi. Pembantu rumah tangga keluarga tersebut menemukan surat yang ditulis, dan lantas segera memberikan kepada orang tuanya.

Ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak anak-anak sekarang yang memiliki kesibukan menyamai pengusaha kelas atas. Ceritanya, sejak masuk bangku SD, sang ayah telah menaruh harapan begitu tinggi, khususnya di bidang matematika. Tidak cukup dengan full day school, sang ayah menjejali hari-hari sang anak dengan tiga les tambahan. Ada les kumon, sempoa, juga menggambar.

Bangun pagi, pukul 06.00 anak sudah harus berangkat ke sekolah. Tujuh jam di sekolah, setelah itu dilanjutkan dengan les dan les. Pulang ke rumah, waktunya habis untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR). Buru-buru mau bermain, nonton televisi saja tidak sempat. Belum lagi pressure yang berat dilakukan oleh sang ayah. Tiap hari, sang ayah mendikte anak tersebut supaya harus begini dan begitu. Selain itu, sang ayah kerap mengecek semua nilai matematikanya. Sang ayah memang mempunyai harapan tinggi, dia ingin anak kelak bisa menjadi insinyur seperti dirinya. Ironisnya, bukan nilai baik dan prestasi yang didapat sang anak. Justru nilainya terus merosot. Bukannya membantu, sang ayah langsung memarahinya. Mendapat tekanan seperti itu, sang anak pun jadi putus asa. Dia akhirnya memutuskan hendak bunuh diri, bahkan sudah meninggalkan sepucuk surat untuk kedua orang tuanya tersebut.

Sungguh, kenyataan yang sangat menyedihkan, membuat hati ini nelangsa. Bagaimana tidak, tekanan dan harapan orang tua yang terlalu tinggi mampu meluluhlantakkan semangat hidup seorang anak berusia delapan tahun. Maka, sudah saatnya kita sebagai orang tua tidak lagi menjadikan angka dan nilai-nilai di sekolah sebagai sesuatu yang menakutkan. Yang terpenting dalam pendidikan adalah proses belajarnya. Yaitu, membentuk anak agar senang dalam belajar dan termotivasi untuk terus belajar. Biarkan anak-anak merdeka dan bahagia dengan masa kanak-kanaknya. Nikmati tawa anak-anak kita, pandangi kedalaman matanya. Sebab, kalau tidak, hanya air mata penyesalan yang akan menemani sepanjang umur kita.

Sebagian diantara kita yang sibuk dalam kehidupan di kota ini, beranggapan bahwa waktu yang sedikit bersama anak bukanlah masalah, yang paling penting adalah kualitasnya. Kenyataannya, kualitas hubungan tidak bisa berkembang tanpa memberikan waktu yang memadai. Anak yang akan bunuh diri tadi adalah salah satu cerminan anak-anak yang haus dekapan kasih sayang serta kehangatan orang tua. Kebanggan terhadap nilai-nilai dan angka di buku rapor telah mengambil alih kesadaran mengenai pentingnya kehadiran orang tua di sisi anak-anak. Banyak orang tua yang terlena dalam kesibukan pekerjaan dan melupakan betapa pentingnya kehadiran mereka. Kesibukan bekerja telah merampas waktu buat anak-anak. Bermain bersama anak di rumah menjadi momen yang langka. Maka, membacakan buku cerita untuk si kecil pun jadi lebih banyak dilakukan oleh pengasuhnya.

Menyatakan rasa sayang dan cinta secara verbal bisa jadi akan terlupakan. Perasaan anak-anak akan damai ketika orang tua mengungkapkan, ”Mama bangga mempunyai anak seperti kamu”, ”I Love You, sayang,” serta ungkapan kasih sayang lainnya. Anak-anak akan tertekan, bila justru tuntutan-tuntutan tinggi yang tidak realistis lebih sering didengar anak-anak daripada ungkapan-ungkapan kasih sayang dan penghargaan ketika anaknya membutuhkan.

Tuntutan harus mengikuti beragam les setiap hari tanpa mempertimbangkan kelelahan fisik yang dirasakan anak sama dengan merampas hak anak untuk bermain dan bereksplorasi. Bahkan, sering kita temui anak-anak menghabiskan hari-harinya di atas mobil yang mengantarnya ke berbagai tempat les. Setiap hari, boleh jadi tanpa sadar para orang tua mengajari anak-anak untuk tidak menjadi diri mereka sendiri, tetapi menjadi yang diinginkan orang tua. Tanpa sadar pula, orang tua telah membentuk anak-anak untuk membenci dirinya sendiri dan membangun persepsi yang salah, seperti, ”Kalau tidak les akan gagal dan tidak disayang orang tua.”

Sudah saatnya kita sebagai orang tua kembali menyadarinya, dengan menerima anak apa adanya, mencintai mereka tanpa syarat, memberikan waktu yang cukup, kehangatan pelukan, komunikasi yang memadai, serta dukungan dan kepercayaan orang tua kepada anak-anaknya.

Perlu disadari pula oleh setiap orang tua, bahwa setiap anak merupakan pribadi yang ”unik”, mempunyai bakat dan potensi yang berbeda-beda. Boleh saja ikut les atau kegiatan ekstrakuriluker, asalkan disesuaikan dengan tujuan yang cocok dengan kebutuhan anak. Dengan begitu, orang tua pun jadi memiliki target yang lebih realistis. Ingat, anak itu titipan, bukan untuk memenuhi ambisi orang tua.

sumber: http://noverdianto.multiply.com/journal/item/24?mark_read=noverdianto:journal:24

The Golden Age


Perlu diketahui bahwa setiap anak itu mempunyai potensi yang unik ketika ia lahir di muka bumi ini, baik secara fisik (jasmani) maupun non fisik (akal, hati dan lain sebagainya), dan dari itu semua sesungguhnya kuncinya ketika anak tersebut berumur 0 – 6 tahun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28. Bahkan dalam pasal tersebut juga dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu: pertama, pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Kedua, pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan. Ketiga, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapar membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik). Dan keempat, pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Dalam rangka untuk dapat memberikan hal yang terbaik bagi anak bangsa saat fase pertumbuhan seorang manusia ketika berumur 0 – 6 tahun, menjadi teramat penting bagi setiap insan yang sering kali disebut dengan “masa emas” atau “the golden age”, masa tersebut seorang anak harus dipersiapkan “wadah” yang mampu untuk menampung setiap materi, ilmu atau pemikiran dengan mumpuni baik secara jasmani, mental maupun pikirannya dengan semaksimal mungkin untuk menghadapi setiap persoalannya di masa yang akan datang dalam hidupnya kelak.


Dalam sebuah penelitian, Bloom mengatakan bahwa pengembangan intelektual seorang anak sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50%, variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi sejak anak berumur 4 tahun, peningkatan mutu 30% selanjutnya terjadi masa usia 4 – 8 tahun dan sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua atau ketika usia 8 – 18 tahun. Bloom juga mengatakan bahwa umur 0 – 4 tahun merupakan masa-masa penting pertama terhadap kaya miskinnya lingkungan sekitar yang menstimulasi perkembangan intelektual manusia. Bahkan lebih jauh ia menjelaskan bahwa ini berpengaruh pada perkembangan IQ dengan perbandingan bahwa lingkungan dengan stimulasi yang kaya akan menambah 10 unit IQ dari pada yang miskin ketika berumur 0 – 4 tahun., kemudian sekitar 6 unit IQ ketika berumur 4 – 8 tahun.

Salah seorang ahli Carla Shaz mengatakan bahwa masa kritis pengembangan tumbuh kembang anak mencakup 5 (lima) hal, yaitu: pertama¸pengembangan penglihatan ketika berumur empat tahun pertama. Kedua, pengembangan perasan emosi sejak umur 2 (dua) bulan sampai mulai berkembang perasaan stress, kepuasan, girang dan sedih. Sedangkan perasaan iri dan empati baru berkembang pada usia 3 (tiga) tahun. Pada masa-masa ini pengasuhan yang penuh kasih sayang, pemenuhan nutrisi dan perawatan kesehatan merupakan persyaratan mutlak bagi pertumbuhan emosi anak. Dan perlu diingat bahwa pada masa ini juga setiap setiap peristiwa yang tidak mengenakkan atau traumatik akan berpengaruh pada keseimbangan emosi yang kemudian berhubungan dengan perkembangan kecerdasan dan empati. Ketiga, perkembangan kemampauan bahasa, sudah dimulai sejak dalam kandungan, ketika berumur 1 (satu) tahun sudah terbentuk “peta perseptual” untuk dapat mengetahui perbedaan suara atau fonem yang diucapkan dan perkembangan ini ditentukan dengan seberapa banyak anak diajak bicara atau mendengarkan. Keempat, kemampuan gerak anak, masa kritis pengembangan gerakan berlangsung sejak lahir sampai umur 2 tahun, sedangkan masa perkembangan motorik kasar berlangsung hingga berumur 4 tahun. Kelima, perkembangan kemampuan musik, masa kritis pengembangan musik ketika berumur 3 s.d. 10 tahun, hasil penelitian Mozart membuktikan bahwa rangsangan musik sejak dini akan membina pengembangan di bidang visiospatial, matematika dan logika.

Sumber dan bacaan lebih lanjut: http://www.jugaguru.com/column/21/tahun/2008/bulan/09/tanggal/04/id/791/



Menjadi Guru Model


Menjadi guru model
Oleh-oleh Workshop Kepribadian, Hasto Daryanto (8 Februari 2009, Balai kota Solo)

Jadikankanlah predikat guru sebagai status bukan sekedar profesi, maka posisikan murid Anda sebagaimana anak Anda sendiri.

GURU…?
G = Gagasan
Guru harus kaya gagasan segar, sanggup mencari berbagai jalan dengan pembelajaran yang menantang dan dinamis.

U = Usaha
Gagasan segar guru harus segera diwujudkan dalam usaha nyata.

R = Rasa
Gagasan segar guru yang diwujudkan dalam usaha nyata harus menjamin rasa aman anak.


U = Utama
Gagasan segar guru yang diwujudkan dalam usaha nyata harus menjamin rasa aman anak dalam menanamkan nilai-nilai akhlak mulia.

Model…?
Model di sini bisa dikatakan sebagai orang yang dicontoh atau diteladani. Dapat juga diartikan dengan orang yang (pekerjaannya) memperagakan, seperti pakaian dll.

Lalu seperti apakah guru model itu…?
Guru model adalah guru yang diteladani, memiliki gagasan segar, yang diwujudkan dalam usaha nyata untuk menjamin rasa aman anak dalam upaya menanamkan nilai-nilai akhlak mulia.
Untuk menjadi guru model, hal-hal yang perlu dimiliki oleh seorang duru adalah:
1. Menarik
Serang guru harus mampu menggirangkan, menyukakan hati karena indahnya, cantiknya, bagusnya, serta membangkitkan kasih sayang sehingga menyebabkan orang lain dekat dengannya.
2. Memikat
Memikat dalam hal ini berarti menggirangkan, menyukai hati karena indahnya, cantiknya, bagusnya, serta membangkitkan kasih sayang sehingga menyebabkan orang lain lekat dengannya.
3. Mengesankan
Mengesankan berarti menyukai hati karena indahnya, cantiknya, bagusnya, serta membangkitkan kasih sayang sehingga menyebabkan orang lain terkesan dengannya.

Ciri-ciri guru model…?
1. Berkepribadian mantap dan stabil
Yaitu dapat menghargai dan menerapkan ajaran agama serta mentaati peraturan yang berlaku. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Bertutur kata, berperilaku santun dan berpenampilan sopan serta mempunyai control emosi yang baik.
2. Berkepribadian dewasa
Dapat menerapkan nilai kejujuran dan keikhlasan serta melaksanakan tugas secara mandiri. Menghargai atasan, teman sejawat, dan kolega serta baginya makna kepuasan adalah membuat orang lain bahagia.
3. Merkepribadian wibawa
Mengemukakan pendapat dan bertindak yang memberikan pengaruh positif terhadap peserta didik sehingga ia pantas untuk dihormati. Tidak melakukan penyimpangan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
4. Kepribadian arif
Bertindak atas dasar kemanfaatan peserta didik, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Mampu menempatkan diri secara proporsional serta mau menerima masukan , kritik dan saran untuk perbaikan.

“Jadikanlah awal pembelajaran adalah sesuatu yang dahsyat, yang menggirangkan, yang membuka hati dan pikiran peserta didik. Sahabat guru, bergembiralah…! Jika anda bergembira… murid anda juga akan gembira. Dan itu adalah awal kesuksesan anda.”

Resep-resep membuat APE


Resep Pembuatan Playdough

1 kg tepung terigu
¼ kg garam halus
pewarna kue
½ liter air
5 sendok makan minyak goreng

Cara membuat :
Tepung dan garam dicampur sampai menyatu. Tuangkan air yang dicampur pewarna dan masukkan ke dalam adonan sedikit demi sedikit. Setelah adonan tidak lengket, tambahkan minyak goreng sedikit
demi sedikit Dan adonan siap dibentuk.


Adonan Finger Painting

Bahan pembuatan cat finger painting :
• Air (3 gelas)
• Tepung tapioka (1 gelas)
• Tawas 1 sendok makan
• Sabun cuci (2 sendok makan)
• Minyak goreng (1 sendok makan)
• Bubuk pewarna roti (merah, kuning dan biru)

Cara pembuatan :
Seperti pembuatan bubur sumsum.
Semua bahan, kecuali pewarna, dimasak dengan api kecil, dan diaduk-aduk. Sampai agak kental. Jangan sampai menggumpal. Kemudian dipindahkan dan dibagi ke 3 mangkuk. Setelah itu pewarna roti dimasukkan secukupnya sesuai kebutuhan, dan diaduk sampai rata, jangan sampai terlalu banyak, sehingga hasilnya terlalu gelap.



Resep Pembuatan Cat Poster dari Deterjen

Untuk satu warna
1 sendok makan deterjen cair
Pewarna kue
Cara Membuat
Campurkan deterjen cair dengan pewarna hingga merata. Simpan dalam tempat wadah


Resep Pembuatan Labunte (Larutan Sabun dan Tepung)

1 buah sabun mandi (warna putih)
Tepung terigu
Pewarna kue
Air
Baskom

Cara membuat :
Untuk satu adonan warna.
Iris satu potong atau sisa sabun mandi dalam baskom, kemudian tuang air bersih secukupnya, sampai seluruh sabun terendam air, selama 2-3 jam.Kemudian masukkan larutan sabun kedalam baskom lain, dan aduklah sampai terasa lembut, dan masukkanlah warna. Aduk sampai warna merata, lalu masukkanlah 2 sendok tepung terigu dan aduklah sampai merata. Masukkan lagi terigu secara bertahap sambil tetap diaduk, sampai adonan terasa pekat dan susah diaduk. Remas-remas dengan tangan, jika masih terasa lengket, taburi terigu sedikit-sedikit. Sampai akhirnya kekenyalan adonan adalah seperti lilin malam. Dan adonan siap dibentuk.

hanya bermain...

Ketika aku sedang menyusun kubus, Jangan katakan aku “Hanya Bermain”, Karena seperti kau lihat, Aku belajar sambil bermain. Tentang keseimbangan dan bentuk.

Ketika aku sedang berpakaian lengkap membuat rumah-rumahan, Lalu bermain boneka bayi, Jangan Katakan aku “Hanya Bermain”, Karena seperti kau lihat, Aku belajar sambil bermain, Untuk menjadi Ibu dan Ayah suatu hari nanti.

Ketika kau lihat aku duduk disebuah kursi, “Membaca Keras-keras” didepan penonton khayal, Tolong jangan tertawa dan mengira aku “Hanya Bermain”, Karena seperti kau lihat, Aku belajar sambil bermain, Aku mungkin menjadi Guru suatu hari nanti.

Ketika kau lihat aku sibuk dengan teka-teki, atau ketahuan “Memainkan Sesuatu disekolah, Tolong jangan merasa aku membuang waktu untuk “Hanya Bermain”, Karena seperti kau lihat, Aku belajar sambil bermain, Aku belajar memecahkan masalah dan berkonsentrasi, Siapa tahu aku kelak aku jadi Pengusaha

Ketika kau lihat aku belajar melompat, berlari dan memanjat, Tolong jangan katakan aku “Hanya Bermain”, Karena seperti kau lihat, Aku belajar sambil bermain, Aku berlajar tentang bagaimana tubuhku, Mungkin saja suatu hari nanti aku menjadi Dokter, Perawat atau Atlet

Ketika kau bertanya apa yang kau kerjakan disekolah hari ini, Dan aku menjawab”Aku Hanya Bermain”, Tolong jangan salah mengerti, Karena seperti kau lihat aku belajar sambil bermain, Aku belajar menikmati hidup sambil meraih sukses dalam bekerja, Aku menyiapkan diri untuk masa depan

SAAT INI AKU ANAK-ANAK, DAN TUGASKU MEMANG BERMAIN
( A. Wadley)